Model penemuan
merupakan model belajar yang dipopulerkan oleh Bruner. Model ini menghendaki
keterlibatan aktif siswa dalam memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip,
sedangkan guru mendorong siswa agar memiliki pengalaman dan melakukan percobaan
yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri.
Menurut
Karso dkk belajar penemuan bukan merupakan cara belajar baru. Cara ini
sudah digunakan puluhan abad yang lalu dan Socrates dianggap sebagai pemula
dalam penggunaan metode ini. Bruner mengatakan bahwa penemuan adalah
suatu proses, suatu cara, atau pendekatan pemecahan masalah, bukan hasil kerja.
Prawironegoro mendefinisikan metode penemuan
sebagai prosedur pembelajaran yang mempunyai tekanan siswa berlatih cakap
mencapai tujuan dan siswa aktif mengadakan percobaan atau penemuan sendiri
sebelum membuat kesimpulan dari yang dipelajari. Dengan demikian, materi yang
akan dipelajari siswa tidak disajikan dalam bentuk final. Siswa harus melakukan
aktivitas mental yang mungkin melibatkan aktivitas fisik dalam upaya memperoleh
pemahaman pada materi tertentu. Selama proses penemuan, siswa memanipulasi,
membuat struktur, dan mentransfer informasi sehingga menemukan informasi baru
yang berupa konjekture, hipotesis, atau kebenaran matematika.
Hudojo berpendapat
bahwa menemukan berarti menghasilkan sesuatu untuk pertama kali dengan
menggunakan imajinasi, pikiran, atau eksperimen. Penemuan dalam belajar
matematika berarti kegiatan menghasilkan suatu ide matematika, suatu aturan,
atau suatu cara penyelesaian masalah untuk pertama kali. Ide matematika yang
pertama kali ditemukan siswa belum tentu ide yang benar-benar baru, tetapi
setidaknya baru bagi siswa. Ide yang ditemukan sendiri akan lebih dipahami dan
diingat oleh si penemu. Karena itu, penemuan digunakan sebagai salah satu
metode dalam belajar matematika. Lebih lanjut, Hudojo menyebut metode
penemuan sebagai suatu cara penyampaian topik matematika yang memungkinkan
siswa menemukan sendiri pola-pola atau struktur-struktur matematika melalui
serentetan pengalaman-pengalaman belajar yang lampau.
Bruner
menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara
aktif oleh manusia, sehingga belajar dengan penemuan akan memberikan hasil yang
paling baik. Lebih lanjut Bruner mengatakan bahwa belajar bermakna hanya dapat
terjadi melalui belajar penemuan. Berbeda dengan Bruner, Ausubel berpendapat
bahwa belajar bermakna tidak hanya terjadi melalui penemuan. Belajar akan
bermakna jika informasi yang akan dipelajari siswa disusun sesuai dengan struktur
kognitif yang dimiliki siswa sehingga siswa dapat mengaitkan informasi baru
dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Ausubel menambahkan bahwa metode
penemuan aplikasinya terbatas dan membuang-buang waktu, karena itu perlu ada
penemuan terbimbing.
Bell
(1981:241) mengatakan bahwa belajar penemuan dapat terjadi di dalam situasi
yang sangat teratur, baik siswa maupun guru mengikuti langkah-langkah
yang sistematis. Guru membimbing dan mengarahkan siswa selangkah demi
selangkah dengan mengikuti bentuk tanya jawab yang telah diatur secara
sistematis untuk membuat penemuan. Langkah-langkah kegiatan atau petunjuk dapat
dituangkan dalam lembar kerja yang dibuat guru. Selain itu, diperlukan pula
campur tangan guru untuk membangkitkan perhatian siswa pada tugas yang sedang
dihadapi dan mengurangi pemborosan waktu. Ruseffendi (1988:18) menekankan
adanya bimbingan guru dalam pembelajaran penemuan. Siswa-siswa bukanlah ilmuwan
dan sesuatu yang dihadapi benar-benar merupakan sesuatu yang baru bagi siswa,
sehingga petunjuk ataupun instruksi guru sangatlah diperlukan siswa.
Bell
menyebut pembelajaran seperti di atas sebagai pembelajaran penemuan terbimbing
yaitu pembelajaran yang agak berpusat pada guru karena siswa tidak merumuskan
sendiri pertanyaannya. Guru menyiapkan lembar kerja yang berisi
pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab siswa dan penentuan urutan pertanyaan
benar-benar diperhatikan. Amien sependapat dengan Bell bahwa dalam “guided
discovery” guru memberikan bimbingan atau petunjuk yang cukup luas kepada siswa
selama kegiatan penemuan. Sebagian besar perencanaan dibuat guru, siswa tidak
merumuskan problem, petunjuk yang cukup luas tentang cara menyusun dan mencatat
penemuan diberikan guru.
Gagne dan
Brown menyatakan bahwa penemuan terbimbing merupakan metode terbaik untuk
menghasilkan kaidah-kaidah tertentu dalam belajar. Walaupun Ausubel tidak
sepenuhnya mendukung metode penemuan terbimbing, tetapi ia sepakat bahwa
penemuan cukup penting untuk meningkatkan pembelajaran pada anak-anak kecil.
Gagne dan Ausubel juga sepakat bahwa metode ini lebih penting bagi anak-anak
kecil daripada anak-anak yang lebih tua. Oleh karena itu, pembelajaran penemuan
terbimbing sesuai dan dapat dilakukan di sekolah.
Sehubungan
dengan model penemuan terbimbing, Hudojo (1984:5) menegaskan bahwa siswa
memerlukan bimbingan setapak demi setapak untuk mengembangkan kemampuan
memahami pengetahuan baru. Bimbingan dapat dilakukan melalui instruksi lisan
atau tulisan untuk memperlancar belajar suatu konsep atau hubungan-hubungan
matematika (Hudojo,1983:25). Dengan demikian, pembelajaran penemuan terbimbing
melibatkan aktivitas guru dan siswa secara maksimal. Siswa aktif melakukan
penemuan dan guru aktif memberi bimbingan secara bertahap dan menciptakan
lingkungan yang memungkinkan siswa melakukan proses penemuan. Hal ini
ditegaskan Marks (1988:13) yang mengatakan bahwa pembelajaran penemuan mencakup
penciptaan suasana lingkungan atau cara yang memungkinkan siswa melakukan
penyelidikan dan menemukan sesuatu yang baru bagi mereka.
Dalam
geometri, model penemuan terbimbing dapat digunakan dalam pembelajaran materi
Teorema Pythagoras (“kuadrat hipotenusa segitiga siku-siku sama dengan jumlah
kuadrat sisi-sisinya”). Seperti diketahui, dalam sejarah pengembangan
matematika, Pythagoras menemukan teori ini melalui beberapa kegiatan pengamatan
dan pengukuran (Bell, 1981:244). Langkah-langkah Pythagoras dalam menemukan
teori ini dapat diadaptasi sesuai dengan perkembangan siswa, sehingga dapat
digunakan sebagai metode dalam pembelajaran di sekolah. Siswa diajak melakukan
serangkaian kegiatan sehingga ia merasa benar-benar sebagai penemu teori
tersebut.
Aplikasi
metode penemuan terbimbing di sekolah dapat dilihat pada pembelajaran “penemuan
jumlah ketiga sudut sebuah segitiga dengan cara menggunting ketiga daerah
sudutnya dan menyusunnya kembali” dan “pengertian diagonal dan penentuan banyak
diagonal suatu poligon dengan menggunakan papan berpaku dan karet gelang”
(Marks, 1988: 15-122). Pada kedua pembelajaran tersebut, siswa melakukan
pengamatan, mengorganisasikan hasil pengamatan, membuat dugaan, dan mengujinya.
Dugaan atau hasil temuan siswa dapat berupa aturan-aturan, pola-pola,
hubungan-hubungan, atau cara menyelesaikan suatu hal dalam geometri. Jadi,
penerapan metode penemuan terbimbing dalam pembelajaran geometri di sekolah
dasar tidak mengharuskan siswa menemukan suatu konsep atau prinsip geometri
yang standar (seperti yang ditemukan oleh seorang ahli) tetapi kalau di sekolah
menengah dituntut harus menemukan konsepnya. Pada pembelajaran penemuan, siswa
sebagai penemu sesuatu yang belum diketahuinya.
Berdasarkan
pendapat-pendapat di atas, metode penemuan terbimbing dalam pembelajaran
matematika, khususnya geometri, adalah suatu model pembelajaran yang
menghendaki siswa menemukan ide-ide dalam geometri — misalnya: aturan, pola,
hubungan, atau cara menyelesaikan suatu masalah– melalui keterlibatannya secara
aktif dalam pembelajaran yang didasarkan pada serentetan pengalaman-pengalaman
belajar yang lampau. Yang dimaksud keterlibatan secara aktif dapat berupa
kegiatan mengadakan percobaan/penemuan sebelum membuat kesimpulan, atau
memanipulasi, membuat struktur, dan mentransfer informasi sehingga menemukan
informasi baru yang berupa kebenaran matematika. Selama proses penemuan, siswa
mendapat bimbingan guru baik berupa petunjuk secara lisan maupun petunjuk
tertulis yang dituangkan dalam bentuk lembar kerja siswa. Guru menciptakan
lingkungan atau cara yang memungkinkan siswa melakukan penyelidikan dan
menemukan sesuatu. Pemberian bimbingan dimaksudkan untuk membangkitkan
perhatian pada tugas yang sedang dihadapi, mengurangi pemborosan waktu, dan
menghindari kegagalan proses penemuan.
Langkah-langkah
Pembelajaran Model Penemuan Terbimbing
Untuk
menghindari kegagalan dan memaksimalkan kegiatan siswa dan guru dalam proses
penemuan, maka pembelajaran dengan metode penemuan terbimbing harus
direncanakan. Pembuatan perencanaan harus memperhatikan:
(a) pengetahuan prasyarat yang dimiliki siswa dan mendukung proses penemuan;
(b) pengetahuan tentang aktivitas yang mungkin dilakukan siswa;
(c) peran guru dalam kegiatan penemuan;
(d) sumber atau sarana belajar yang diperlukan, misalnya lembar kerja: dan
(e) hasil akhir yang harus ditemukan siswa.
(a) pengetahuan prasyarat yang dimiliki siswa dan mendukung proses penemuan;
(b) pengetahuan tentang aktivitas yang mungkin dilakukan siswa;
(c) peran guru dalam kegiatan penemuan;
(d) sumber atau sarana belajar yang diperlukan, misalnya lembar kerja: dan
(e) hasil akhir yang harus ditemukan siswa.
Suchman
(Kartawisastra dkk, 1980:3) menyebutkan sembilan langkah “Guided Discovery
Lesson” (pembelajaran penemuan terbimbing). Langkah-langkah yang dimaksud
adalah sebagai berikut.
a.
Adanya masalah/problem yang akan dipecahkan yang dinyatakan dalam berbagai “pernyataan” atau “pertanyaan”.
b.
Jelas disebutkan tingkatan/kelas siswa yang akan mengikuti pembelajaran.
c.
Konsep atau prinsip yang harus ditemukan siswa ditulis dengan jelas.
d.
Perlu disediakan alat/bahan sesuai dengan kebutuhan siswa dalam melaksanakan
kegiatan penemuan.
e.
Diskusi pengarahan dilakukan dalam bentuk tanya jawab antara siswa dan guru
sebelum para siswa melakukan kegiatan penemuan.
f.
Kegiatan pembelajaran penemuan dapat berupa penyelidikan/percobaan untuk
menemukan konsep-konsep atau prinsip-prinsip yang telah ditetapkan.
g.
Proses berpikir kritis perlu dijelaskan untuk menunjukkan adanya “mental
operation” siswa yang diharapkan dalam kegiatan.
h.
Pertanyaan-pertanyaan yang mengarah kepada pengembangan kegiatan penyelidikan
siswa perlu diberikan.
i.
Catatan guru meliputi penjelasan tentang bagian-bagian yang sulit dari
pelajaran dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilannya, terutama
bila kegiatan penyelidikan mengalami kegagalan atau tidak berjalan seperti yang
direncanakan.
Sedangkan
Menurut Rachmadi (2004: 5-6) agar pelaksanaan model penemuan terbimbing ini
berjalan dengan efektif, beberapa langkah yang mesti ditempuh oleh guru
matematika adalah sebagai berikut :
1.
Merumuskan masalah yang akan diberikan kepada siswa dengan data secukupnya,
perumusannya harus jelas, hindari pernyataan yang menimbulkan salah tafsir
sehingga arah yang ditempuh siswa tidak salah.
2.
Dari data yang diberikan oleh guru, siswa menyusun, memproses, mengorganisir
dan menganalisis data tersebut. Dalam hal ini, bimbingan guru dapat diberikan
sejauh yang diperlukan saja. Bimbingan ini sebaiknya mengarahkan siswa untuk
melangkah ke arah yang hendak dituju, melalui pertanyaan-pertanyaan atau LKS.
3.
Siswa menyusun konjektur (prakiraan) dari hasil analisis yang dilakukannya.
4.
Bila dipandang perlu, konjektur yang telah dibuat oleh siswa tersebut di atas
diperiksa oleh guru. Hal ini penting dilakukan untuk meyakinkan kebenaran
prakiraan siswa sehingga akan menuju arah yang hendak dicapai.
5.
Apabila telah diperoleh kepastian tentang kebenaran konjektur tersebut maka
verbalisasi konjektur sebaiknya diserahkan juga pada siswa untuk menyusunnya.
Di samping itu perlu diingat pula bahwa induksi tidak menjamin 100% kebenaran
konjektur.
6.
Sesudah siswa menemukan apa yang dicari, hendaknya guru menyediakan soal
latihan atau soal tambahan untuk memeriksa apakah hasil penemuan itu benar atau
tidak.
Keuntungan
dan Kekurangan Model Penemuan Terbimbing
Pemilihan
model penemuan terbimbing sebagai salah satu metode pembelajaran didasarkan
pada beberapa keuntungan yang dimilikinya. Hirdjan (dalam Paeru, 1987:36)
mengemukakan keuntungan metode penemuan adalah: “agar siswa kelak di kemudian
hari tabah menghadapi persoalan baru di dalam masyarakat dan mampu memecahkan
atau menemukan sendiri penyelesaiannya”. Biggs (dalam Orton, 1993:89 )
mengatakan bahwa metode penemuan merupakan cara terbaik memberi kesenangan
nyata anak kepada matematika. Metode ini satu-satunya cara memberi kesempatan
siswa untuk berpikir sendiri sehingga mereka menyadari potensi dirinya.
Bruner
(dalam Amin, 1987:133-134) sebagai pencetus metode penemuan mengemukakan
beberapa keuntungan pembelajaran dengan metode penemuan.
Keuntungan
yang dimaksud dirinci seperti berikut ini.
1)
Membantu siswa memahami konsep dasar dan ide-ide secara lebih baik.
2)
Membantu dalam menggunakan daya ingat dan transfer pada situasi-situasi proses
belajar yang baru.
3)
Mendorong siswa berpikir dan bekerja atas inisiatifnya sendiri.
4)
Proses belajar penemuan dibuat “open-ended” sehingga mendorong siswa berpikir
inisiatif dan merumuskan hipotesisnya sendiri.
5)
Memberikan kepuasan yang bersifat intrinsik.
6)
Situasi proses belajar menjadi lebih merangsang.
Menurut
Hudojo (1984:7), penerapan metode penemuan dalam pembelajaran mempunyai
beberapa keuntungan seperti dipaparkan berikut ini.
1)
Siswa ikut berpartisipasi secara aktif di dalam kegiatan belajarnya sebab ia
harus berpikir, bukan sekedar mendengarkan informasi atau menelaah seonggok ilmu
pengetahuan yang telah siap.
2)
Siswa benar-benar memahami suatu konsep atau rumus sebab mengalami sendiri
proses mendapatkan rumus itu.
3)
Metode ini memungkinkan pengembangan sifat ilmiah dan menimbulkan semangat
ingin tahu para siswa.
4)
Dengan metode penemuan terbimbing, guru tetap mempunyai kontak pribadi dengan
siswa.
5)
Terbukti bahwa siswa yang memperoleh pengetahuan melalui metode penemuan lebih
mampu menstransfer pengetahuannya ke berbagai konteks.
6)
Metode ini membatasi guru untuk menambah materi baru bila siswa masih belum
memahami materi yang sedang dipelajari.
Prawironegoro
(1980:5-6) menambahkan beberapa keuntungan pembelajaran dengan metode penemuan
seperti dirinci berikut ini.
1)
Memberikan pandangan ilmu yang lebih luas kepada siswa untuk menuju
keberhasilan.
2)
Melatih siswa lebih banyak belajar sendiri, jadi siswa melibatkan akunya dan
memotivasi diri sendiri untuk belajar.
3)
Mengembangkan kepribadian siswa menuju akhir kebenaran ilmu.
4)
Memberi kesempatan siswa yang pandai untuk bekerja sendiri dan menyelesaikan
pelajarannya lebih dahulu.
Beberapa
keuntungan yang dikemukakan di atas menjadi pertimbangan positif dalam memilih
metode penemuan sebagai salah satu model pembelajaran matematika. Agar
pembelajaran dengan metode penemuan dapat mencapai hasil maksimal, maka perlu
diwaspadai beberapa kekurangan atau kelemahannya. Salah satu kekurangan metode
ini adalah siswa yang tidak dapat menyelesaikan tugasnya akan frustasi
(Prawironegoro, 1980:6).
Hudojo
(1984:7) merinci kekurangan metode penemuan seperti berikut ini.
1)
Memerlukan banyak waktu dan belum dapat dipastikan apakah siswa akan tetap
bersemangat menemukan.
2)
Tidak semua guru mempunyai semangat dan kemampuan mengajar dengan metode ini,
terutama guru yang pekerjaannya “sarat muatan”.
3)
Tidak setiap siswa dapat diharapkan menjadi seorang “penemu”. Bimbingan yang
tidak sesuai dengan kesiapan intelektual siswa akan merusak struktur
kognitifnya.
4)
Pembelajaran menggunakan kelas kecil karena perhatian guru terhadap
masing-masing siswa sangat diperlukan.
Marks
(1988:19) menambahkan dua kekurangan penggunaan metode penemuan sebagai
berikut.
1)
Tidak semua materi matematika dapat dikuasai dengan metode penemuan. Jika mungkin,
tidak tersedia waktu yang cukup untuk menggunakan metode penemuan secara
eksklusif.
2)
Kegiatan yang bersifat fisik kadang-kadang dapat menutupi ide matematika yang
hendak disampaikan. Bimbingan dan pengarahan yang kurang memadai membuat siswa
hanya bermain-main.
Dengan
memperhatikan keuntungan metode penemuan yang lebih banyak daripada
kekurangannya, maka penggunaan metode penemuan terbimbing tetap dianggap
sebagai cara yang efektif dan efisien dalam pembelajaran matematika yang
bertujuan untuk memecahkan suatu masalah yang relevan dengan perkembangan
kognitif anak. Apalagi pada kenyataannya penggunaan metode ini hanya sulit pada
permulaannya, tetapi selanjutnya dapat membantu siswa belajar lebih cepat
menemukan sendiri apa yang tidak diketahui (Hudojo, 1980:3).
jangan lupa di share ea??????
0 Response to "model pembelajaran penemuan terbimbing"
Posting Komentar